Info Kesehatan - Angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan di masyarakat. Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Anak (AKA), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (AHH) telah ditetapkan sebagai indikator derajat kesehatan dalam Indonesia Sehat 2010 (Depkes, 2003). AHH bahkan digunakan sebagai salah satu komponen untuk menghitung Human Development Index (HDI) (UNDP, 2001).
Sumber: Klik Dokter
Ditinjau dari HDI, Indonesia menduduki ranking 109 dari 174 negara (UNDP, 2000), jauh tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya. Ranking ini relatif tak beranjak, bahkan cenderung lebih buruk (tahun 2003 urutan 112 dari 175 negara). Sementara itu, AKI dan AKA Indonesia juga menduduki urutan yang tak dapat dibanggakan.
Data menunjukkan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 461 per 100.000 kelahiran hidup, dan juga Angka Kematian Balita (AKB) yaitu 42 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan kecenderungan angka-angka tersebut, akan sulit dicapai target MDG tahun 2015. Penurunan AKI hanya mencapai 52% dari keadaan tahun 1990 dari target 75% dan penurunan AKB mencapai 53% dari target 67%.
Dari penilaian sistem kesehatan berbagai Negara, Indonesia menempati urutan 106 dari 191 negara yang dinilai untuk indikator pencapaian yang mencakup status kesehatan dan tingkat tanggapan (responsiveness).
Kajian AKI dan AKA dalam kaitan dengan KB didekati dengan merujuk berbagai kerangka konsep analisis yang diadaptasi disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Indonesia. Tiga kerangka konsep analisis diadaptasi dari kerangka analisis Mosley dan Chen (1984), McCarthy and Maine (1992), dan Kerangka Pikir Sistem Kesehatan Nasional.
Tren AKI belum menggembirakan. Masih tingginya dan kurang cepatnya penurunan AKI dapat terjadi karena berbagai hal. Pertama, memang kondisi kesehatan untuk kelompok resti (bumil, bulin, dan bufas) masih jelek. Kedua, pertambahan relatif penduduk memasuki usia subur lebih besar daripada pertambahan relative kelahiran. Ketiga, mungkin penanganan kesehatan maternal belum optimal. Dari sisi geografis, provinsi di kawasan Indonesia Timur relatif memiliki AKI lebih tinggi.
Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB), trennya semakin menurun, dari 142 per 1.000 kelahiran hidup tahun 1967, menjadi 42 per 1.000 tahun 2000, kemudian SDKI 2002-2003 sebesar 35 per 1.000, namun dari metode perhitungan tidak langsung, AKB tahun 2003 tetap 43 per 1.000 kelahiran hidup. Di antara 10 negara ASEAN, AKB Indonesia menempati peringkat ke-7, sebelum Kamboja, Laos, dan Myanmar. Tidak ada pola geografis untuk AKB di Indonesia. Kawasan Indonesia barat maupun timur menyumbang kontribusi yang sama besar.
Sementara itu, Angka Kematian Neonatal (AKN) pada bayi usia dibawah 1 bulan , dan Angka Kematian Post Neonatal (AKPN) pada bayi usia 1-11 bulan, tren cenderung menurun. SDKI 1994 melaporkan AKN 30 per 1.000 kelahiran hidup, dan AKPN 27 per 1.000, turun menjadi AKN 20 per 1.000 dan AKPN 15 per 1.000 menurut SDKI 2002-2003. Dengan kata lain, selama kurun 8 tahun, rata-rata penurunan AKN per tahun 5%, sedangkan penurunan AKPN per tahun adalah 7%. Kontribusi Kematian Neonatal terhadap kematian bayi (AKB) lebih besar daripada kontribusi Kematian Post Neonatal. AKN dominant disebabkan oleh gangguan perinatal (34%), sedangkan AKPN dominant disebabkan lahir premature dan BBLR (29%). AKB di pedesaan 1,6 kali lebih tinggi daripada AKB di perkotaan. Makin miskin rumah tangga, makin tinggi AKB dan pola ini terus konsisten hingga kini.
Faktor langsung penyebab tingginya AKI adalah perdarahan (45%), terutama perdarahan post partum. Selain itu adalah keracunan kehamilan (24%), infeksi (11%), dan partus lama/macet (7%). Komplikasi obstetrik umumnya terjadi pada waktu persalinan, yang waktunya pendek yaitu sekitar 8 jam. Menurut WHO (2000), 81% AKI akibat komplikasi selama hamil dan bersakin, dan 25% selama masa post partum.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi AKB, menurut UNICEF (2001), menurunnya kualitas hidup anak pada usia 3 tahun pertama hidupnya adalah: gizi buruk, ibu sering sakit, status kesehatan buruk, kemiskinan, dan diskriminasi gender. Bayi dengan gizi buruk mempunyai resiko 2 kali meninggal dalam 12 bulan pertama hidupnya.
AKI dan AKB tidak berkorelasi langsung dengan kejadiab infeksi atau parasit, kecuali pada beberapa daerah yang endemik malaria.
Kaitan antara AKB dan AKI dengan Keluarga Berencana adalah pada isu status reproduksi seperti dinyatakan pada diagram kerangka konsep. Beberapa kajian menunjukkan keadaan “4 Terlalu” yaitu: keadaan ibu yang terlalu muda (untuk menikah, hamil, dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan terlalu sering, dan jarak kehamilan terlampau dekat. Kondisi ini erat terkait dengan tingginya tingkat kesakitan dan kematian ibu dan anak (Depkes, 2004:41). Sebagai ilustrasi, 25% proporsi ibu di Indonesia dengan paritas di atas 3. Hasil regresi menunjukkan, hubungan positif antara jumlah paritas dengan AKI.
Terkait AKB, satu faktor penting adalah umur ibu dibawah 20 tahun meningkatkan resiko kematia neonatal, serta usia ibu di atas 35 tahun meningkatkan resiko kematian perinatal (Litbangkes, 1994). Odds Ratio AKB dari ibu usia di bawah 20 tahun sebesar 1,4 kali lebih tinggi dari AKB pada ibu usia 20-35 tahun.
Untuk mencegah semakin parahnya “4T” tersebut, dilaksanakan program KB di daerah-daerah. Kesertaan KB umumnya sudah tinggi. Persentase kesertaan KB umumnya pada kisaran 60-70%. Alat kontrasepsi yang paling popular umumnya adalah pil dan suntik.
Namun studi kualitatif menunjukkan bahwa ketika daya beli alat kontrasepsi sebagian masyarakat rendah, menyebabkan ketidakmampuan ibu-ibu mengatur jarak dan jumlah kelahiran anaknya. Khusus di pedesaan, keinginan mengatur jumlah anak sudah ada, tetapi sebagian besar masih pada tingkat keinginan dan belum dalam praktek. Penyebabnya, karena terbatasnya akses mereka terhadap pelayanan KB, rendahnya kemampuan ekonomi, atau kurangnya independensi ibu (pada banyak kasus, menjadi akseptor KB adalah berdasarkan keputusan suami). Kendala akses pada pelayanan KB akan meningkatkan pula kejadian Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan bahkan aborsi illegal (Azwar, 2003).
Terdapat 3 syarat kondisi upaya kesehatan yang harus dipenuhi, yaitu: manajemen kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi manajemen, perencanaan program harus kontinu, bukan berbasis proyek yang hanya jangka pendek dan tidak sustained. Akurasi data menjadi kunci penting bagi perencanaan. Priority setting adalah keahlian yang harus dimiliki para perencana. Tidak ketinggalan, fungsi manajemen (sampai monitoring evaluasi) harus dijalankan dengan cermat dan tepat.
Terkait pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga, sarana, prasarana (contohnya alat kontrasepsi) menjadi syarat penting. Program juga harus didukung mekanisme yang memadai dan efektif mencapai lapisan terbawah.
Yang ketiga, pemberdayaan masyarakat, partisipasi masayarakat harus digalakkan kembali. Pemanfaatan Posyandu oleh balita menurun drastis sejak krismon tahun 1997 (Depkes, 2004:83). Peran swasta, LSM, dan organisasi kemasyarakatan dalam menurunkan AKI dan AKB harus digalang, diorganisir dengan baik, dan dimobilisasi secara efektif.
Ketiga syarat tersebut dapat diupayakan melalui pemantapan kebijakan nasional. Kebijakan yang sudah ada dan bersifat makro, menjadi payung untuk kebijakan teknis di bawahnya. Kebijakan yang tersosialisasi dengan baik, akan menumbuhkan komitmen yang tinggi dari para stakeholders, baik dari segi program maupun pendanaan. Dan semua itu memerlukan strategi advokasi yang sesuai.
Oleh: Ukik Kusuma Kurniawan (mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)
Sumber: Klik Dokter